Ruangan Zoom dibuka, dan perayaan virtual untuk hari jadi ketujuh belas Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha diawali dengan tayangan visi dan misi, lambang bahwa FSRD Maranatha tetap memandang tujuan awalnya sambil terus berubah untuk maju.
Dies Natalis XVII FSRD Maranatha mengusung tema “Challenge of the 21st Century: How to Stay Relevant“. Doa pendeta universitas, sambutan para wakil dekan dan rektor mengamini tujuan “tetap menjadi relevan” ini. Pihak universitas terus mendorong FSRD agar tetap unggul dan semakin unggul. Misalnya, para MC bergurau bahwa mahasiswa tidak perlu lagi repot-repot memotong dan menggunting saat mendesain pola karena sekarang sudah ada mesin pola 3 dimensi. Penambahan fasilitas baru ini adalah salah satu bukti bahwa FSRD terus memperbarui diri agar tetap relevan dan mengikuti perkembangan zaman.
Orasi Ilmiah: Bagaimana Kita Bisa Tetap Relevan?
Pembicara yang akan memberikan orasi mengenai tantangan zaman adalah Profesor Ignatius Widiapradja, MFA, BFA. Beliau bukan sembarang orang: Profesor Ignatius berkuliah dan memiliki pengalaman mengajar di Amerika Serikat. Karya miliknya juga sudah sering ditampilkan di berbagai pameran, museum, dan galeri di Indonesia maupun mancanegara. Pengalaman hidup Profesor Ignatius di Amerika Serikat tercermin dalam gaya bicaranya yang dibumbui ujaran-ujaran bahasa Inggris.
Beliau merasa senang dengan keadaan FSRD Maranatha yang terus berkembang dan tetap bertahan selama 17 tahun terakhir. Perasaan senang ini timbul atas pertimbangan bahwa ada banyak pribadi atau pun institusi yang tumbang akibat tidak siap menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat. Menurutnya, inilah tantangan abad ke-21.
Lantas, bagaimanakah cara agar kita tidak tertinggal dalam pacuan dengan perkembangan dunia? Jawabannya adalah kemampuan beradaptasi, kemampuan untuk terus belajar dan berkembang agar ilmu yang kita miliki tetap relevan dengan tuntutan zaman. Relevansi dan adaptabilitas manusia atau pun lembaga pendidikan dapat dijaga dengan melakukan tiga hal.
Pertama, kita perlu memiliki cara berpikir yang luas, selalu menelaah segala hal lebih dalam. Pikirkanlah bukan hanya hal yang terlihat di permukaan saja, tetapi juga tentang asal-usulnya, sebabnya, dan pengaruh keberadaannya.
Pola pikir ini dapat dilatih dengan poin kedua: menanamkan rasa ingin tahu dan haus ilmu, terlebih untuk kaum muda. Beliau berkomentar tentang peran lembaga pendidikan mengenai hal ini. Menurutnya, tugas lembaga pendidikan bukan hanya memberikan nilai A dan gelar di atas ijazah, tetapi memberikan kemampuan nyata bagi mahasiswa. Apakah kurikulum, kursus, dan teknik-teknik seni rupa tradisional masih relevan? Relevansi ilmu yang diajarkan dapat ditingkatkan dengan mengajarkan teknologi terkini. Selain itu, pendidik juga perlu menerapkan gaya belajar yang menuntut mahasiswa untuk proaktif: bukan hanya menerima ilmu dengan menonton kuliah dosen, tetapi juga mengajarkan ilmu baru kepada diri sendiri dan sekitarnya, bahkan kepada gurunya, jika perlu.
Terakhir, manusia perlu memelihara kreativitas yang tinggi. Profesor Ignatius memberi contoh demikian: manusia memiliki superioritas terhadap artificial intelligence (AI) dalam bidang seni. Hal ini terjadi karena AI berjalan menggunakan algoritma yang bersifat linier. Sementara itu, manusia tidak terkungkung oleh batasan ini karena memiliki kreativitas non-linier. Karya seni yang bagus biasanya tercipta dengan melawan logika, bersifat inovatif karena terbentuk dari ide-ide baru. Kreativitas dan kemampuan berinovasi inilah yang dapat menjadi senjata manusia dalam memecahkan berbagai masalah hidup. Kreativitas adalah ciri khas manusia.
Pusat Studi Kebudayaan Nusantara: Peduli Tradisi
Dies Natalis XVII FSRD Maranatha juga dijadikan momen untuk meluncurkan Pusat Studi Kebudayaan Nusantara. Prof. Dr. Setiawan Sabana MFA, guru besar FSRD ITB yang menjadi pembicara pada Dies Natalis XVI tahun lalu, hadir kembali untuk memberikan pengantar.
Profesor Setiawan sangat setuju dengan ide untuk mendirikan Pusat Studi Kebudayaan Nusantara dan menjelajahi kultur Indonesia yang beragam. Beliau mengingatkan lagi pesannya dari tahun lalu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bukan hanya “seorang pelaut”, tetapi juga seniman, terbukti dengan banyaknya karya seni prasejarah Indonesia. Beliau ingin mengajak hadirin untuk bukan hanya merenungkan masa depan seperti yang dibicarakan oleh Profesor Ignatius, tetapi juga merenungkan masa lalu bangsa yang membentuk identitas Indonesia masa kini.
Di penghujung sesi pertama, seluruh peserta bersama-sama meniup dua batang lilin ulang tahun di atas kue–tenang saja, secara virtual, kok. Setelah itu, hadirin mengikuti sesi focus group discussion yang melibatkan civitas academica FSRD Maranatha dan para stakeholders. Happy sweet seventeen FSRD Maranatha, semoga relevan selalu!
(Stanislaus Joshua)