FSRD Maranatha kedatangan tamu penting dari jauh: tiga perajin batik dari Lasem bertandang ke Bandung untuk bercerita tentang dunia usaha mereka. Kunjungan ini adalah bagian dari acara “Berbagi Cerita Batik Lasem”: bazar, bincang ilmiah, dan diseminasi penelitian yang digelar di Exhibition Hall Gedung B pada tanggal 6 dan 7 Desember 2022. Sesuai dengan judul talkshow, “Culturepreneurship: Pengusaha Mulia Melestarikan Budaya Bangsa”, para pembicara membahas seluk beluk usaha batik Indonesia.
Pembicara pertama adalah Dr. Komarudin K., S.Ip, M.Ds., akrab disapa Komar. Beliau menjelaskan bagaimana perajin batik di seluruh Indonesia berkumpul membentuk Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), serikat yang memajukan bukan hanya perdagangan batik nasional, tetapi juga ilmu dan inovasi yang dibutuhkan demi kelangsungan usaha batik. Untuk ini, APPBI bekerja sama dengan pemerintah, peneliti, dan tokoh masyarakat untuk menghadirkan terobosan baru. Contohnya, metode mutakhir untuk penanganan air limbah batik.
“Hari ini sedang kami uji coba,” ujar Komar yang menjabat sebagai ketua APPBI.
Selain itu, ada pula teknik baru yang unik untuk menciptakan pola: “pendulum batik”. Wadah berisi malam panas digantungkan di atas kain, lalu diayun dan membentuk garis-garis yang dapat diprediksi bentuknya dengan perhitungan fisika.
“Amplitudo, suhu malam, semua dapat dihitung untuk menghasilkan pola-pola unik, seperti bentuk galaksi.”
Komar baru bercerita dari sisi organisasi. Berikutnya, Santoso Hartono memberi tahu penonton tentang pengalamannya sebagai pengusaha batik dan pendiri Batik Pusaka Beruang. Triknya banyak, mulai dari rajin menghadiri pameran, hingga berteman dengan teknologi: Batik Pusaka Beruang sering melakukan streaming di Instagram untuk memasarkan produknya. Santoso bersyukur bahwa masyarakat Indonesia mendukung industri batik, terbukti dengan banyaknya bank yang mempermudah pinjaman untuk modal usaha perajin dan pedagang batik.
Siti Wiwin R. lebih banyak bercerita dari sisi pribadi. Pemilik Batik Pesona Canting ini ingat bagaimana ia dilarang mencari kerja oleh kedua orang tuanya demi meneruskan usaha batik keluarga. Karena itu, Wiwin sudah membatik sejak lulus SMA. Hari ini, Wiwin sudah menghasilkan banyak buah manis yang bahkan dapat dinikmati masyarakat sekitar, seperti menciptakan lapangan kerja baru. Apa rahasia suksesnya?
“Membatik itu harus sabar, harus telaten,” kata Wiwin. Sifat ini dimiliki oleh semua perajin di Lasem, karena sekarang sudah tidak ada batik cap di sana. Semua batik ditulis menggunakan canting dan tangan.
Sebagai penutup, para narasumber memberi wejangan. Kata mereka, berdagang batik itu enak–kalau tidak laku hari ini, kain bisa dijual lagi besok, bulan depan, tahun depan, dan kainnya tidak akan rusak atau busuk. Terus, bagaimana caranya supaya bisa jadi pedagang batik yang sukses? Bagaimana kita bisa menjadi culturepreneur yang melestarikan budaya bangsa?
Santoso bilang, cukup manfaatkan yang ada. Tidak punya modal untuk beli peralatan? Tidak apa-apa! Teman Santoso berinovasi dengan menggunakan barang bekas seperti triplek dan karung untuk membuat cap, dan hanya dengan itu, ia bisa menerima banyak repeat order dan bisa membeli beberapa unit rumah.
Nasihat Wiwin senada dengan pengalaman pribadinya. “Tetap fokus, jangan takut nggak laku, karena batik nggak akan basi.”
Komar menyarankan calon pengusaha untuk mempunyai product knowledge yang mendalam: bedakan batik asli dan tiruan batik, pelajari cerita dari setiap motif. Kreativitas dan inovasi, seperti yang diupayakan oleh APPBI, juga tidak kalah penting. Intinya, lakukan tiga hal berikut:
“Kenali, pakai, banggakan.” (sj)