JABARBICARA.COM– Merebaknya pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 di seluruh dunia, telah mengubah tatanan kehidupan dan perilaku seluruh masyarakat. Awal kemunculan pasien terinfeksi positif COVID-19 di Indonesia diketahui pada pertengahan Februari 2020 yang diumumkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Puncaknya adalah Pemerintah Indonesia menyatakan darurat COVID-19 dan mulai melakukan karantina di beberapa wilayah pada pertengahan Maret 2020. Seluruh kegiatan belajar (sekolah), bekerja, maupun sosial dilarang dilakukan karena melibatkan kerumunan massa yang berpotensi menimbulkan kontak fisik sebagai salah satu cara penyebaran virus Corona. Tak lama sesudahnya, istilah Work From Home (WFH) maupun Study From Home (SFH) bergema dari tingkat sekolah dasar hingga universitas hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kegiatan belajar mengajar (KBM) yang selama ini dilakukan secara langsung, dengan cara tatap muka antara dosen dan mahasiswa mengalami penyesuaian secara mendadak dan terpaksa dilakukan oleh beberapa kampus untuk mengurangi laju penyebaran COVID-19 tersebut.
Kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana kita ketahui belum sepenuhnya menerapkan e-learning di beberapa kampus karena faktor kesiapan teknologi maupun SDM yang ada. Adanya momentum pandemi COVID-19 turut berperan dalam proses penyesuaian penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berlangsung menjadi online learning atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Para pengajar/ dosen dan mahasiswa dipaksa untuk menggunakan dan menguasai teknologi dalam waktu singkat untuk pelaksanaan proses belajar mengajar.
Seiring dengan berjalannya PJJ di beberapa kampus semenjak pertengahan Maret 2020 lalu turut mempengaruhi kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yakni pencanangan program Merdeka Belajar.
Makna dari Merdeka Belajar sendiri adalah mahasiswa dapat melakukan proses kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak hanya di dalam kelas, tetapi bersifat kombinasi di luar kelas yang dapat ditempuh dengan outing, kerja praktik, kegiatan pengabdian masyarakat, magang di industri, dan lain sebagainya. Tentu saja dengan perubahan sistem KBM ini pun turut mengubah pemaknaan dalam satuan kredit semester bagi mahasiswa yakni bukan lagi bobot hitungan jam pelajaran melainkan menjadi jam kegiatan.
Diharapkan dengan adanya kebijakan Merdeka Belajar ini akan dapat membentuk karakter mahasiswa untuk lebih berpikiran terbuka, berani, mandiri, sopan, beradab dan berbudi luhur, lebih berkompetensi, serta andal dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
Proses PJJ yang telah berjalan hampir lima bulan lebih akibat pandemi COVID-19 diharapkan mampu menjadi titik awal dimulainya Merdeka Belajar bagi dosen maupun mahasiswa. Bagi mahasiswa dengan adanya PJJ ini mereka menjadi lebih aktif dalam memecahkan masalah secara mandiri karena keterbatasan waktu dan kesempatan untuk tatap muka maupun berdiskusi dengan dosen. Begitu pula sebaliknya, bagi dosen dengan adanya PJJ menjadikan dosen lebih sigap, tanggap, dan melek teknologi karena tuntutan yang mengharuskan dilakukan secara online. Sistem KBM yang semula dilakukan secara konvensional, tatap muka langsung di kelas, berubah menjadi sistem tatap maya menggunakan aplikasi video conference seperti Zoom, Webex, Google Meet, Skype, dan lain sebagainya. Bagi sebagian orang, aplikasi tatap maya tersebut sebelumnya tidak terlalu menarik perhatian untuk dipasang di dalam perangkat gawai maupun laptop.
Namun, semenjak WFH dan SFH terpaksa dilakukan akibat pandemi COVID-19, aplikasi tatap maya tersebut mulai sering digunakan oleh dosen dan mahasiswa sebagai bagian dari penyelenggaraan PJJ. Sayangnya, kesiapan teknologi maupun sarana prasarana setiap kampus tidaklah sama. Beberapa kendala teknis seringkali ditemui, baik dosen maupun mahasiswa, yakni koneksi internet yang terbatas.
Bagi mahasiswa rantau yang terjebak tinggal di tempat kos dan tidak bisa kembali ke kampung halamannya, tentu saja menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan proses KBM. Mulai dari adanya imbauan Mendikbud, Nadiem Makarim, untuk memberikan bantuan langsung kepada mahasiswa berupa kuota data internet setiap bulan hingga penyesuaian sistem PJJ dalam proses KBM sekarang berupa pembelajaran sinkron dan asinkron terus-menerus diupayakan untuk menghadapi permasalahan pendidikan di Indonesia akibat pandemic COVID-19. Akibatnya, setiap kampus diharapkan mampu memiliki sistem pengelolaan pembelajaran atau Learning Management System (LMS) yang dapat diakses oleh dosen dan mahasiswa sebagai pendukung pelaksanaan PJJ sinkron dan asinkron tersebut.
Mendikbud Nadiem Makarim perlu memahami bahwa untuk menjalankan LMS tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun perlu penyesuaian yang memerlukan waktu cukup panjang mengingat kondisi kesiapan teknologi maupun SDM dalam sistem pendidikan Indonesia sangat tertinggal jauh dibandingkan negara maju. Akibatnya banyak dosen-dosen generasi awal (senior) yang merasa kesulitan dengan penerapan teknologi dalam pelaksanaan PJJ melalui LMS. Tentu saja hal ini menjadi kurang kondusif dan menjadi penghambat di beberapa kampus kecil yang memilki keterbatasan SDM karena sulitnya proses regenerasi pengajar hingga transfer keilmuan dari dosen senior kepada juniornya.
Oleh karena itu, sebaiknya LMS untuk PJJ, dalam hal ini di lingkup perguruan tinggi, memiliki prosedur pelaksanaan yang dikelola terpusat oleh Kemdikbud supaya tidak terjadi kesenjangan teknologi antara kampus besar maupun kecil di Indonesia. Selain itu, Kemdikbud juga perlu memperhatikan dan mengetahui pelaksanaan LMS dari sudut pandang mahasiswa, apakah nantinya dapat diikuti dengan baik juga oleh mahasiswa.
Sebagaimana kata-kata bijak yang pernah dikemukakan oleh Kemdikbud Nadiem Makarim: Teknologi adalah tools, hanya suatu alat… bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas, interaksi antara guru dan murid itu esensinya, sebaiknya terus dapat diterapkan dengan baik dari hari ke hari selama masa pandemi COVID-19 belum jelas kapan akan berakhir. Bagaimanapun juga, kegiatan belajar mengajar akan dapat berlangsung dengan baik dan efektif jika kedua belah pihak, dosen dan mahasiswa, dapat berinteraksi dengan baik, tanpa terkendala oleh jarak maupun teknologi karena sejatinya pendidikan itu merupakan proses belajar yang kontinyu, lestari, dan tidak mengenal waktu.
Pepatah bijak lain mengatakan: Kita memerlukan 4000 tahun untuk berpindah dari penggunaan besi menjadi industri. Kita hanya memerlukan 40 tahun untuk berpindah ke tahap komputer. Dan ke depannya kita hanya memerlukan 4 tahun untuk menjadikan dunia ini berbeda dari sebelumnya. Dan pada akhirnya setiap hari kita akan melihat teknologi yang berbeda”… Maju terus dunia pendidikan Indonesia Merdeka!!!
Penulis: Dewi Isma Aryani, S.Ds., M.Ds.
Staf pengajar Program Studi D-3 FSRD, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Sumber berita: Artikel JabarBicara.com edisi 19 Agustus 2020