Seniman bukan membutuhkan kreativitas saja–mereka juga perlu memikirkan bagaimana seninya dapat berguna bagi sesama. Pemikiran banyak orang tentunya akan lebih bermanfaat daripada pemikiran yang dihasilkan sendiri.
Dengan ide tersebut, FSRD Maranatha mengundang rekan-rekan senimannya dari berbagai belahan dunia untuk membagikan ilmu yang mereka miliki. The Art of Thinking #3: Design and Architecture for Sustainable Living adalah temu ilmiah yang menampilkan hasil riset dari 8 akademisi seni internasional. Para peneliti datang dari berbagai latar belakang: satu orang profesor berkunjung dari Università Politecnica delle Marche, Italia. Silpakorn University mengutus 4 orang dosen dari Thailand dan Tiongkok. Tuan rumah acara, FSRD Maranatha, memberi kesempatan tampil kepada 3 orang dosennya.
Setiap pembicara membawakan penemuan mereka terkait masalah yang berkaitan dengan sustainabiity. Seluruh sesi pertama dibawakan oleh para dosen dari FSRD Maranatha yang berfokus pada tantangan di bidang desain.
Dr. Kezia Clarissa Langi menceritakan usahanya untuk menjaga kelestarian pakaian perang Nias. Kezia mengambil nilai-nilai estetik dan budaya dari pakaian adat tersebut dan memadukannya dengan busana modern.
Elizabeth Wianto, Ph.D. berpikir bahwa olahraga dapat dijadikan lebih mudah dan menyenangkan bagi kaum lansia, jadi ia merancang sebuah dumbbell dengan desain interaktif. Berkat bantuan desain ini, para manula yang mengikuti penelitian mengatakan bahwa olahraga terasa lebih menarik.
Dr. Yunita Setyoningrum yang memeluk kepercayaan Katolik menganalisis bagaimana suasana sakral dapat tetap terasa melalui misa virtual. Ia berpendapat bahwa elemen-elemen estetik dalam ibadat online dapat mempertahankan nuansa khidmat meski umat beribadah dari rumah masing-masing.
Sesi kedua membahas problema dalam dunia arsitektur dan budaya internasional, menampilkan hasil riset dua orang profesor dan tiga orang kandidat Ph.D.
Penelitian Nussara Intaraboonsom mengamati peran paviliun Thailand dalam membangun identitas nasional. Sebagai contoh, Nussara menunjukkan beberapa bangunan khas negaranya di mancanegara, termasuk peninggalan dua raja Thailand di Curug Dago.
Ada dua orang pembicara yang meneliti pengaruh sungai terhadap kehidupan dan budaya masyarakat sekitar. Prof. Kreangkrai Kirdsiri, Ph.D. meneliti hunian di provinsi Samut Songkhram, Thailand; sementara Tiansheng “Leo” Li mengangkat topik dewa-dewi air yang dipuja di hulu Sungai Mutiara, Tiongkok.
Kota Gaozhuang sempat hancur saat Perang Dunia II berlangsung dan sekarang telah direkonstruksi. Tetapi, apakah hasil rekonstruksi sejarah sebanding dengan wujud aslinya? Liu Shengyu menggunakan kota ini untuk studi kasus.
Pembicara terakhir, Prof. Arch. Antonello Alici, Ph.D., berpendapat bahwa sejarah dan inovasi arsitektur dapat saling melengkapi. Alici memperkuat argumennya dengan menampilkan beberapa tempat di Urbano, Italia dan Malagueira, Portugal, yang memadukan arsitektur kuno dengan arsitektur modern.
Simposium diakhiri dengan acara makan siang serta kunjungan ke Curug Dago untuk melihat peninggalan Raja Rama V dan Raja Rama VII. (sj)