Salah satu acara yang mengikutsertakan CCDS adalah talk show dalam rangka acara kegiatan Unoflatu 2023 yang dimoderatori oleh Dr. Ir. Sugiri Kustedja, M.T. Talk show ini diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2023 di Lantai 1 Gedung B Universitas Kristen Maranatha dan mengundang Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan serta Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung sebagai pembicara. Mereka merupakan mitra baru CCDS dalam konsorsium International Conference on Chinese Diaspora in Southeast Asia Studies. Tema yang diusung dalam talk show ini adalah identitas sosial yang dikaitkan dengan keberadaan Tionghoa di Indonesia. Pembicara dari UIN Sunan Gunung Djati adalah Profesor Dr. H. Dody S. Truna, M.A., sedangkan dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan adalah Dr. Stefanus Djunatan.
CCDS (Center for Chinese Diaspora Studies) adalah sebuah pusat studi Diaspora Tionghoa yang didirikan pada tahun 2008 oleh Dr. Krismanto Kusbiantoro S.T., M.T. dan Dr. Ir. Sugiri Kustedja M.T. di Universitas Kristen Maranatha. Pusat studi ini bermula dari Forum Kajian Budaya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha yang secara rutin mengundang para peneliti dan pakar dalam bidang budaya Tionghoa. Diawali dari kegiatan ini, CCDS berkembang dengan melakukan berbagai aktivitas, seperti ekskursi ke tempat-tempat bersejarah, pembuatan film tentang Muslim Tionghoa di Madura, revitalisasi kawasan sejarah Jamblang di Cirebon, serta menyelenggarakan konferensi internasional seperti “International Forum on Maritime Spice Trading Routes and Cultureal Encounters in Indo-Pacific: Past, Present, and Future” pada tahun 2021, dan “The First International Conference on Chinese Diaspora in Southeast Asia Studies” pada tahun 2022.
Dr. Ir. Sugiri Kustedja membuka pembicaraan dengan memaparkan sejarah keberadaan Tionghoa di Indonesia sejak zaman VOC hingga saat ini. Hal ini memunculkan persepsi masyarakat tentang orang Tionghoa sebagai kelompok eksklusif, pedagang, dan sering dianggap kolaborator penguasa yang kemudian ditanggapi oleh kedua narasumber.
Profesor Dr. H. Dody S. Truna, M.A., yang merupakan pembicara dari UIN Sunan Gunung Djati, menjelaskan bahwa identitas sosial adalah cara sekelompok masyarakat memandang diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan berbagai kelompok sosial dan identitas lainnya, seperti ras, budaya, etnis, dan agama. Identitas sosial memainkan peran penting dalam membentuk sikap, perilaku, dan interaksi individu dalam masyarakat. Identitas sosial juga dapat memiliki pengaruh positif, seperti meningkatkan harga diri, solidaritas, dukungan sosial, dan tujuan bersama dalam kelompok. Namun, identitas sosial juga dapat memiliki pengaruh negatif, seperti mendevaluasi atau mendiskriminasi anggota kelompok lain.
Profesor Dody mengungkapkan bahwa dalam konteks identitas sosial Tionghoa di Indonesia, ras, etnis, dan agama merupakan identitas yang perlu dipertahankan untuk menjaga eksistensinya dari ancaman dan kemusnahan. Identitas-identitas ini memiliki potensi konflik sekaligus potensi integratif. Beliau juga menyampaikan pemikirannya tentang akulturasi di Indonesia, yang sebaiknya mengadopsi model “salad bowl” yang mengakui eksistensi berbagai kelompok dan identitas sosial yang dipersatukan oleh Pancasila.
Sementara itu, Dr. Stephanus Djunatan, pembicara dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, menyajikan pemikirannya tentang stereotip orang Tionghoa Diaspora di Indonesia sebagai suatu problematika identitas sosial. Stereotip yang umum terkait dengan orang Tionghoa di Indonesia adalah sebagai pedagang dan pekerjaan yang diduga “mendukung kelompok sendiri”. Stereotip lainnya adalah mereka dianggap sebagai kaum berpenghasilan menengah-atas dan selalu dianggap sebagai “asing dan aseng”.
Dr. Stephanus menjelaskan bahwa identitas sosial merupakan kebutuhan manusiawi yang melibatkan keunikan kelompok dan keinginan untuk dikenal sebagai bagian dari suatu identitas. Stereotip terhadap orang Tionghoa muncul dari persoalan pengenalan diri kolektif, yang memunculkan dilema ganda antara kepentingan untuk melibatkan diri dan kepentingan untuk menampilkan diri apa adanya. Dalam pemikirannya, Dr. Stephanus mengajak untuk keluar dari dilema tersebut dengan memahami bahwa identitas sosial selalu melibatkan unsur perbedaan yang unik bagi individu dan kelompoknya, serta unsur kebersamaan. Menurutnya, konstruksi kognitif yang baik adalah menyadari bahwa menjadi orang Tionghoa juga berarti menjadi orang Indonesia.
Dalam kesimpulannya, Dr. Stephanus menyatakan pentingnya keluar dari “jebakan batman” yaitu memilih antara menjadi orang Tionghoa atau orang Indonesia. Dalam pemikiran yang lebih inklusif, menjadi orang Tionghoa berarti juga menjadi orang Indonesia, dan identitas sosial tidak harus dipandang dalam kerangka yang saling bertentangan. Identitas sosial yang kuat dapat membantu memperkuat kebersamaan dalam konteks suku bangsa dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Melalui talk show ini, CCDS berperan dalam memperkuat identitas sosial Tionghoa di Indonesia dengan menghadirkan pemikiran dan diskusi tentang stereotip, identitas, dan peran masyarakat Tionghoa dalam konteks keberagaman Indonesia.