Buta huruf merupakan masalah krusial yang terdapat di berbagai belahan dunia, terutama di Indonesia. Jangankan di wilayah pedesaan, di kota pun masih ada beberapa golongan masyarakat yang tidak bisa membaca. Lewat perayaan Hari Aksara yang dihadiri oleh pihak FSRD, komunitas bahasa, dan pejabat wilayah, diharapkan bahwa tingkat buta huruf bisa diminimalisasi di masa mendatang.
Siti Aisyah, selaku Ketua Yayasan Aksara se-Jawa Barat, menyatakan bahwa Hari Aksara tidak hanya merepresentasikan Bahasa Sunda atau bahasa daerah lainnya. Namun, ini merupakan cermin dari tingkat literasi mendunia pada umumnya.
“Hari Aksara atau Hari Literasi itu tidak hanya merepresentasikan Bahasa Sunda atau bahasa daerah, tapi juga bahasa-bahasa lainnya secara umum”, ucapnya.
Ia juga mengatakan bahwa dengan diadakannya acara ini, anak-anak muda dapat terus melestarikan budaya aksara yang ada di Indonesia. Ia sadar bahwa sangat sulit bagi bahasa daerah, terutama Bahasa Sunda untuk “mendapatkan panggung”. Maka dari itu, penting sekali untuk diterapkan di dalam berbagai aspek kehidupan.
“Aksara kuno itu akan sangat efektif kalau misalnya disatukan dengan berbagai aspek, terutama seni. Makanya, saya berpikir bagus sekali untuk bekerja sama dengan FSRD Maranatha dalam acara ini. Ini akan menjadi terobosan bagi pihak lain, terutama anak-anak muda,” tambanhnya.
Selain Siti, acara ini dihadiri juga oleh berbagai pihak. Di antaranya para mahasiswa dari Thailand yang tertarik untuk menyaksikan pameran Hari Aksara di FSRD.
“Kami tertarik untuk hadir di acara ini, karena huruf kuno Bahasa Sunda memiliki kesamaan dengan cara penulisan bahasa kami. Ini sangat penting untuk dilestarikan,” ujar salah satu dari mereka.
Sebuah kebanggan tersendiri, tentunya, mendapatkan tamu mancanegara atas ketertarikan mereka terhadap sistem penulisan kuno Bahasa Sunda. Mereka juga mengaku menikmati rangkaian acara yang berjalan.
Memang, pameran ini diisi oleh berbagai orang yang ahli dalam bidangnya, pun pertunjukan-pertunjukan kecil inspiratif. Misalnya, menulis di atas daun lontar.
Daun lontar yang telah tersedia, diukir menggunakan pisau Angot–alat khusus yang memiliki ujung bergerigi. Saat dilakukan, memang tulisan tak nampak. Namun, saat diberi warna oleh kemiri cair, tulisan yang telah diukir pun terlihat secara kasat mata.
Selain itu, ada pula pertunjukan lainnya, seperti permainan alat musik tradisional dan melukis huruf kuno di kanvas kosong.
Acara yang berlangsung selama 2 jam ini memberikan dampak besar bagi dunia luar. Ini menyatakan bahwa tanpa adanya aksara, tak akan ada penemuan lainnya, karena literasi merupakan kunci dari semua ilmu.