Perayaan ulang tahun ke-16 Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha diawali dengan lantunan musik gamelan nan sejuk. Acara tahun ini terasa istimewa karena Dies Natalis FSRD Maranatha untuk pertama kalinya dirayakan secara daring melalui Zoom.
Tema orasi ilmiah untuk Dies Natalis XVI adalah “Seni Rupa Nusantara: Dulu, Kini, dan Esok”. FSRD Maranatha mengundang Guru Besar FSRD ITB, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA untuk memberikan orasi tersebut di atas panggung virtual. Para MC memperkenalkan Profesor Setiawan sebagai ahli seni berbahan dasar kertas yang “berkarya seperti menghela napas”–hanya akan berhenti berkarya jika sudah tiada.
Profesor Setiawan mengawali sesinya dengan “salam nusantara”. Mengapa nusantara? Nusantara memiliki keragaman budaya yang kaya, sehingga seni yang termasuk di dalamnya pun bermacam-macam. Beliau mengingatkan bahwa kita harus mengetahui sejarah seni nusantara sebagai bukti bahwa seni rupa Indonesia tidak kalah dengan seni dari bangsa lain.
Tampaklah judul lagu anak karya Ibu Sud: “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, tetapi Profesor Setiawan mengubahnya menjadi “Nenek Moyangku Seorang Pelaut dan Perupa”. Perupa? Betul, nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang-orang yang giat menciptakan karya seni rupa. Jumlah dan jenisnya tak terhitung. Ada lukisan gua tertua dunia di Kawasan Karst Maros-Pangkep, patung-patung batu, candi, masjid, katedral, hingga odong-odong Cirebon.
Bentuk-bentuk seni yang disebutkan di atas hanya contoh dari masa lalu. Memang, seni rupa biasanya dikaitkan dengan hal-hal kuno dan antik, tetapi seni rupa masih eksis sekarang dan tentu saja mempunyai masa depan yang cerah. Misalnya, Indonesia memiliki tokoh-tokoh seni yang berpengaruh di zaman modern: Basuki Abdullah, Sudjojono, Affandi, dan rekan-rekan sejawatnya. Seni rupa juga masih berkembang, terbukti dengan adanya sentra seni rupa modern di Yogyakarta, Bandung, dan Bali. Profesor Setiawan bersyukur bahwa kemajuan seni rupa Indonesia tidak terhambat di tengah pandemi–pameran seni justru mengalami inovasi karena diselenggarakan di tempat-tempat baru: di internet.
Setelah memaparkan keadaan seni rupa dari berbagai waktu, Profesor Setiawan memberikan tantangan bagi komunitas seni Indonesia agar pertumbuhan seni tetap berjalan lancar. Tantangan beliau adalah meningkatkan kuantitas juga kualitas museum dan lembaga pendidikan seni rupa. Selain itu, seniman perlu menghayati seni rupa nusantara dan menggaungkannya ke mancanegara, bukannya diredam oleh pengaruh asing. Terakhir, inovasi seni juga perlu ada, terlebih di tengah pandemi dan kedatangan teknologi baru.
Demikianlah sesi pertama berakhir. Hadirin melanjutkan perayaan dengan focus group discussion demi kemajuan FSRD, Maranatha academic community, dan para stakeholders.
(Stanislaus Joshua)