Bedah Komik Lao Sam 1892 diikuti oleh para mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain. Selain itu ada juga beberapa perwakilan fakultas yang hadir untuk memberi sambutan dan menyimak acara bedah komik.
Acara ini berhubungan dengan Lasem, tepatnya kehidupan masyarakat Lasem di masa lalu.
Buku Lao Sam dikerjakan selama 2,5 tahun selama pandemi. Buku ini berhubungan dengan ‘Karimata 1890’. Kedua buku ini berbeda namun memiliki cerita yang berhubungan.
Toni, selaku pembicara dan penulis komik, mengatakan bahwa dalam pembuatan buku, kita juga harus memperhatikan bagaimana aspek branding. Maka dari itu, yang awalnya beliau ingin membuat judul Lasem, tidak jadi, jadinya Lao Sam. Ini bertujuan agar pembaca merasa penasaran dan tertarik untuk membacanya.
Pembuatan karakter dalam cerita ini bahkan memakan waktu hingga 10 tahun, karena menyangkut identitas bangsa. Beliau menyebutkan bahwa bangsa ini terdiri dari berbagai suku. Hal ini tidak dapat ditekan supaya kita bisa menjadi pribadi yang lain.
Beliau biasa menggambar di kertas ukuran A3 dan menggunakan gel pen yang biasa digunakan oleh anak-anak sekolah. Untuk menambah kesan dramatis, beliau menambahkan hujan di antara konflik. Ini terinspirasi dari komik-komik Jepang dan Hongkong.
Tanpa adanya tulisan, membaca komik Lao Sam menjadi lebih bermakna. Pembaca diajak untuk menikmati gambar per panel dan menghayatinya. Ciri khas lainnya adalah adanya hewan, seperti gagak yang menggambarkan pencuri dan nasib sial; atau, burung pipit untuk menggambarkan pagi hari. Ada juga warung yang menggambarkan tempat berkumpul orang2. Pasar juga muncul di dalam komik, karena pasar merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Aspek kekinian sangat penting dari sebuah cerita. Ini akan menunjukkan keselarasan dengan masyarakat. Aspek kekinian dari cerita ini adalah mengenai narkoba. Bisa dilihat dari kasus zaman sekarang yang berhubungan dengan banyaknya permasalahan narkotika yang muncul.
Pokoknya, bedah komik ini sangat menarik dan tentunya bermanfaat bagi seluruh peserta yang menghadiri.