Begitu pintu lift terbuka, galeri seni lantai 5 kelihatan ramai oleh teman-teman yang menghadiri sesi bincang “Seni, Agama, Budaya: Mana yang Masih Relevan?” Sebentar, kenapa kita perlu bahas masalah ini? Memangnya ada yang sudah uzur dari tiga hal tadi? Nah, ada tiga narasumber yang siap jawab pertanyaan ini dari masing-masing bidang keahlian mereka. Bapak Ismet, Kaprodi Seni Rupa Murni, jadi ahli bidang seni. Sisi budaya diwakili oleh Bu Marisa, Kaprodi Sastra Jepang. Pendeta Hariman hadir juga untuk menjawab dari sudut pandang religi.
Moderator diskusi, Pak Basar, mengaku khawatir tentang Pemilu 2024 nanti. Wajar aja, dari dulu, banyak oknum yang numpang di pemilu untuk bikin masalah berbau SARA. Nah, Pak Basar penasaran, apakah seni, budaya, dan agama masih relevan untuk menjawab masalah bangsa ini?
Kata Bapak Hariman, pendeta di universitas kita, pernah ada ramalan bahwa agama bakal ditinggalkan di zaman modern. Untungnya, hal itu nggak terjadi dan agama tetap relevan untuk masyarakat Indonesia, tapi ada hal yang nggak kalah mengkhawatirkan: agama jadi alat untuk memecah-belah bangsa. Beliau bilang penyebabnya adalah orang cuma mengikuti agama tanpa pikiran kritis dan rasional, jadi gampang kebawa oleh aliran menyesatkan.
Pak Ismet yang jago melukis berpendapat bahwa seni masih relevan. Seperti kata Pak Pendeta Hariman, agama masih cukup eksis di zaman modern, tetapi lagi bersaing sama sains yang sifatnya berlawanan. Menurut Pak Ismet, seni bisa mendamaikan kedua kubu itu lewat estetika yang bikin pikiran lebih terbuka. Kalau pikiran lebih terbuka, tentunya pelaku seni nggak akan mudah diprovokasi.
Sementara itu, Bu Marisa optimis dengan kemajuan budaya Indonesia. Beberapa bukti kemajuan itu ada di karya sinema Indonesia yang ngangkat topik kebersamaan dalam keberagaman, kayak Cek Toko Sebelah (2016), Gundala (2019), atau Sayap-sayap Patah (2022). Perkembangan yang baik ini membuat budaya modern Indonesia tetap relevan untuk ngelawan masalah perpecahan.
Puas karena seni, agama, dan budaya masih relevan untuk menjaga keutuhan Indonesia, Pak Basar maju dengan pertanyaan berikutnya: jadi, gimana cara kita menggunakan tiga bidang itu untuk melindungi diri dan negara dari konflik pluralitas?
Bu Marisa teringat satu mata kuliah di Sastra Jepang: kelas Teater. Beliau cerita, mahasiswa Sastra Jepang yang gender, suku, agama, dan minatnya beda-beda, semua bekerja sama untuk bikin pertunjukan yang sukses.
“Nggak bisa ‘kan bikin pentas atau film sendirian? Itu ngajarin kita untuk kerja sama walau latar belakangnya beda-beda. ‘Kan karyanya bukan jadi pentas Kristen atau pentas Sunda.”
Pakai contoh itu, Bu Marisa berharap supaya kita ingat kebersamaan dalam ngejar tujuan bersama. Pak Hariman setuju dengan kata-katanya sendiri: kerjakan sesuatu pro bono commune (demi kebaikan bersama).
Pak Ismet punya pengalamannya sendiri. Waktu masih mahasiswa, beliau ngaku kurang suka orang teknik karena “pola pikirnya terlalu logis,” beda sama seniman yang bebas. Tapi, sekarang beliau bersyukur ke orang teknik yang bikin seni makin luas berkat temuan baru kayak laser art, artificial intelligence art, atau bahkan drawing tablet yang sering dipakai anak DKV. Orang seni butuh teknologi, dan orang teknik bisa bikin temuan baru berkat kebutuhan mereka. Orang dari berbagai bidang saling membantu.
Inilah kenapa era postmodern disebut juga era kolaborasi, ga seperti era pramodern. Dulu agama melarang seni dan budaya. Sekarang, seniman, sastrawan, dan rohaniwan bisa menggunakan tiga sudut pandang untuk memecahkan masalah bersama, ujar Pak Ismet.
Untuk penutup, Bu Marisa ngasih wejangan bahwa meski budaya kita beda, kita itu bagian dari Indonesia yang satu. Pak Ismet berpesan supaya kita jalankan agama, budaya, dan seni dengan serius. Pendeta Hariman titip petuah agar kita lakukan segala sesuatu dengan cinta kasih Tuhan.
Beberapa teman kita pulang dengan dompet yang lebih tebal … karena menang door prize 🙈 Tapi, yang jelas, semuanya pulang dengan kebijaksanaan yang bertambah. Sampai ketemu di acara selanjutnya! (sj)